May 28, 2016

10 tahun silam, Yogyakarta di landa gempa bumi

Masih dalam ingatankah kalian ketika 10 tahun silam, tepatnya Sabtu 27 Mei 2006, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diguncang gempa bumi.
Berdasarkan US Geological Survey, gempa bumi yang terjadi sekitar pukul 05.54 WIB itu tercatat bermagnitudo 6,3. Pusat gempa berada di tenggara Kota Yogyakarta dengan kedalaman 10 km.
Selain di DIY dan Jawa Tengah, getaran gempa juga dirasakan hingga sebagian wilayah Jawa Timur.
Gempa bumi yang berlangsung sekitar 57 detik ini telah memorakporandakan bangunan-bangunan di wilayah DIY dan Jawa Tengah.




Di Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Bantul merupakan wilayah terdampak paling parah di antara tiga kabupaten lainnya. Adapun wilayah Jawa Tengah dampak terparah berada di wilayah Klaten.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY yang dikumpulkan dari berbagai sumber, korban jiwa meninggal mencapai 4.659 jiwa sedangkan korban luka-luka mencapai 19.401 orang. Itu hanya di Yogyakarta, belum daerah lain di Jawa Tengah, seperti Kabupaten Klaten dan Boyolali.
Sebagian besar korban tertimpa bangunan rumah yang roboh akibat tidak kuat menahan besarnya guncangan gempa. Warga terpaksa kehilangan tempat tinggal karena rumah mereka rusak bahkan rata dengan tanah.
Perlahan tapi pasti, warga Yogyakarta bersama pemerintah melakukan recoveryatau pemulihan untuk kembali menitih kehidupan baru. Lewat gerakan "Jogja Grumegah" (Jogja Bangkit) warga melakukan gotong-royong membangun tempat tinggal mereka yang luluh lantah akibat guncangan gempa.
Lewat gotong-royong dan sinergi antara masyarakat bersama pemerintah, pemulihan pascagempa berlangsung dalam waktu 2 tahun. Proses ini pun diakui masyarakat internasional menjadi yang tercepat.
Ambil hikmah
Masyarakat juga mampu menjadikan peristiwa bencana gempa bumi 2006 menjadi sebuah pembelajaran kehidupan. Dengan begitu, masyarakat dapat hidup selaras di wilayah rawan gempa.
"Memang pascagempa bumi 2006 lalu, banyak perubahan yang terjadi. Terutama bagaimana kesadaran masyarakat," ujar pengamat perkotaan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Muhammad Sani Roychansyah, akhir April 2016.
Perubahan yang terjadi dapat dilihat dari munculnya Community Action Plan (CAP) di berbagai distrik, mulai dari desa sampai dengan kelurahan. Masyarakat di dalam satu kawasan atau distrik melakukan pemetaan wilayah-wilayah rawan.
"Mereka melakukan pemetaan berbasis masyarakat, itu skala Miso. Skala mikronya, mengenai bagaimana struktur bangunan dan itu juga sudah menjadi aturan," kata Sani.
Lewat mitigasi struktural, pemerintah lanjutnya telah melakukan berbagai sosialisasi dan memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa wilayah yang ditinggali termasuk rawan bencana gempa bumi, Gunung Merapi, tanah longsor maupun banjir. Selain itu, berbagai simulasi bencana secara dilakukan di setiap dusun, desa, sekolah dan perkantoran.
Sehingga, dengan kesadaran dan bekal wawasan mengenai kebencanaan tersebut, masyarakat saat ini menjadi semakin waspada serta tangguh.
"Yogya, saya kira sudah menjadi kota yang berketahanan, artinya tahan terhadap bencana. Masyarakat yang tahan dan tanggap bencana, juga sudah," urainya.
Sementara itu, Oki Haryanto, warga Keraton Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul menceritakan, sebelum peristiwa gempa 2006 struktur bangunan rumah warga masih belum memperhitungkan adanya gempa bumi, sehingga di Bantul, terutama di dusunnya, saat itu banyak rumah warga yang roboh dan rata dengan tanah.
"Akibat gempa, rumah saya juga ambruk. Kan, saat itu belum memikirkan struktur bangunan yang tahan guncangan," ujarnya.
Pasca gempa 2006, imbuhnya banyak pihak baik pemerintah baik lewat BPBD, maupun LSM memberikan pelatihan mengenai, mitigasi bencana, simulasi bencana, dan manajemen posko pengungsian mandiri.
"Simulasi beberapa kali sudah, beberapa waktu lalu juga ada. Sekarang warga paham harus melakukan apa ketika terjadi gempa," kata dia.
Selain itu, warga juga telah diberikan informasi dan pengetahuan mengenai bagaimana struktur bangunan yang tahan terhadap gempa. Bahkan, saat ini rumah-rumah di wilayahnya sebagian besar telah menerapkannya.
"Struktur bangunan misalnya bagaimana kerangka rumah, cara menyambungnya jangan mepet, lalu pondasinya harus seperti apa itu sudah. Hanya memang tidak semua menerapkan itu," urainya.
Masyarakat pun telah menyepakati titik kumpul ketika terjadi gempa. Titik kumpul ini juga sudah disosialisasikan kepada seluruh masyarakat.
"Titik kumpul sama jalur evakuasi sudah ada. Titik kumpul kalau ditempat kami di lapangan," kata dia.

sumber : Kompas

0 komentar:

Post a Comment

Semoga artikel di atas dapat membantu Anda.