assalamualaikum sahabat infoberit91.blogspot.com.
sudahkah kalian tau bahwa merebut suami atau istri
orang itu adalah perbuatan yang dibenci allah karena merusak hubungan orang lain. jika kita muslim yang taat pasti akan takut akan murkanya allah swt.
Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami'”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن حبان والنسائي في الكبرى والبيهقي]
Takhrîj Hadîts
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal. 13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu atau budak yang telah bekerja pada seorang tuan, sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang suami menceraikan istrinya.
Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan semacamnya. Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal pergi oleh) orang-orang yang berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang mengurus keluarga mujahid) adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang lelaki pun dari orang-orang yang tidak pergi berjihad yang mengurus keluarga orang-orang yang pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yang pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan menuju surga) pada hari kiamat, sehingga yang dikhianati mengambil kebaikan yang berkhianat sesuka dan semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud dalam hadîts Muslim ini adalah merusak hubungan keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.
sudahkah kalian tau bahwa merebut suami atau istri
orang itu adalah perbuatan yang dibenci allah karena merusak hubungan orang lain. jika kita muslim yang taat pasti akan takut akan murkanya allah swt.
Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami'”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].
foto by google.com
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن حبان والنسائي في الكبرى والبيهقي]
Takhrîj Hadîts
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal. 13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu atau budak yang telah bekerja pada seorang tuan, sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang suami menceraikan istrinya.
Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan semacamnya. Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal pergi oleh) orang-orang yang berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang mengurus keluarga mujahid) adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang lelaki pun dari orang-orang yang tidak pergi berjihad yang mengurus keluarga orang-orang yang pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yang pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan menuju surga) pada hari kiamat, sehingga yang dikhianati mengambil kebaikan yang berkhianat sesuka dan semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud dalam hadîts Muslim ini adalah merusak hubungan keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.
0 komentar:
Post a Comment
Semoga artikel di atas dapat membantu Anda.