June 15, 2016

TAULADAN AKHLAK A'IMMAH

Assalamuallaikum sahabat jalanampuh. ada sepenggal cerita yang saya harus tulis disini, jikalau ada kata/tulisan yang salah tolong dibenarkan ya sobat.
foto by. mulpix.com


Kala itu imam laits bin said pergi ke madinah untuk menimbah ilmu dari ulama sana,salah satu guru beliau adalah imam malik. suatu hari imam laits duduk berbincang dengan imam malik, dia menanyakan sesuatu yg ganjal di benak nya mengenai hukum syariat. Di jawablah semua rasa keganjalan itu oleh imam malik. Tak di sadari untaian pujian keluar dari imam laits teruntuk guru nya "sungguh banyak problematika umat yg terselesaikan oleh keringatmu" sang guru mmbalas "tapi tidak sebanding seperti abu hanifah,aku hanya meniru nya wahai mashriy(sebutan pemuda mesir)"
   sepulang imam laits dri madinah beliau menceritakanya kepada imam hanifah, tentang ketakjuban imam malik terhadap imam hanifah . Ya dengan begitu ANDAP ASOR nya imam hanifah menanggapi cerita itu "tak seorang pun yang pernah aku lihat bisa mnjawab dengan cepat dan sempurna selain imam malik"

Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah).
Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah).

Pandangan Imam Sufyan ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri, sebagai berikut: سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه. “Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah). Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah). Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah: وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه . ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده . “Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi, tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Al Maktabah Asy Syamilah). Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram. Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah: وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ “Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Syarah an Nawawi ‘ala Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’ Al Maktabah Asy Syamilah). Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

0 komentar:

Post a Comment

Semoga artikel di atas dapat membantu Anda.